Satu
Sore yang suram, langit
berwarna kelabu pekat, rintik air hujan turun begitu deras tak kunjung
membenamkan tekad Vidian. Dia bertahan ditengah rintik hujan, hawa dingin
menyerang sekujur tubuh tak lagi terasa. Dia diam terpaku meski basah kuyup di
tengah taman kota nan sepi tanpa manusia lain. Sekujur tubuh boleh dingin,
menggigil bahkan kulit mulai keriput. Entah berapa lama dia berdiri mematung
disana dengan pikiran kacau.
Cuaca hari itu sama dengan suasana
hati yang hancur berkeping-keping. Dia tak menyangka hari itu menjadi kenangan
terakhir kisah cintanya bersama Salsa. Salsa, cinta pertama saat dia duduk di
bangku kuliah sebagai mahasiswa semester dua. Satu setengah tahun lamanya
mereka menjalin hubungan asmara tanpa kata putus nyambung seperti pasangan
lainnya. Namun, semua tinggal kenangan belaka saat Salsa memutuskan hubungan
mereka.
Percakapan singkat terus
terngiang-ngiang di telinganya, mengaburkan segala akal sehat. Kalimat-kalimat
yang membuatnya frustasi berat, merasa hancur dan kalah. Segala yang dia
lakukan selama ini terbuang percuma hanya karna materi belaka.
“Say...ehm...ehm...ehm...maafin aku”
kata Salsa tersendat-sendat seolah merasa tak enak hati sembari berdiri. Tak
sedikitpun dia memandang wajah kekasih yang kini masih duduk di bangku taman.
“maaf kenapa? emang kamu ada salah
sama aku, selama ini kita kan baik-baik aja nggak ada masalah” jawab Vidi mulai
bingung dengan sikap kekasihnya.
“sepertinya lebih baik kita jalan
sendiri-sendiri” balasnya tanpa basa basi memandang ke arah kekasih yang masih
duduk menatapnya.
“maksud kamu?” tanya Vidi kaget
bercampur penasaran seolah tak percaya, dia berdiri secepat kilat, menatap
tajam ke arah kekasihnya.
“kita putus Vid. aku udah nggak bisa
ngelanjutin hubungan ini, maaf banget.” kalimat itu mengalir lancar dari mulut
Salsa, tak ada ekspresi menyesal atau sedih terpancar di wajahnya. Dia kembali
memalingkan wajahnya dari tatapan tajam Vidi.
“nggak...aku nggak percaya, kamu pasti
bercanda, ya kan?” sahut Vidi menundukan wajah, tubuhnya mulai lemas,
berkali-kali dia mengacak-acak rambut sendiri.
“aku nggak bercanda, udah lama aku menunggu
waktu yang tepat buat ngungkapin ini semua. Maaf Vid, aku mencintai laki-laki
lain yang jauh lebih baik daripada kamu. Seorang laki-laki yang aku yakini bisa
membahagiakan diriku kelak”
“Salahku apa sama kamu? bukankah
selama ini aku selalu berusaha buat kamu bahagia?”
“kamu nggak salah apa-apa kok.
Vid...bahagia itu butuh materi, nggak cuma jalan bareng, makan bareng seadanya
dan selalu sama-sama. Banyak hal yang aku ingin tapi nggak bisa kamu penuhin”
“Salsa...ka...mu ber...can...da kan?”
ucap Vidi terbata-bata menahan hatinya yang mulai nyeri, sesak, nafasnya mulai
tak teratur. Berat rasanya mengatakan pertanyaan itu, lidahnya tiba-tiba ngilu
sulit berkata-kata. Suaranya hampir hilang ternggelam dalam aliran darah dan
debar jantung tak menentu.
Perlahan dia melepaskan tangan Vidi
dari lengan kirinya tanpa memandang wajah Vidi. Tanpa sepatah kata, Salsa
berlalu pergi meninggalkan Vidi yang masih berdiri menunggu jawab dari
mulutnya.
Vidi hanya bisa memandang punggung
Salsa dan berharap itu semua mimpi dari tidur siangnya. Namun, ia akhirnya
tersadar kalau itu bukanlah mimpi sewaktu Dino kakak tingkatnya menggandeng
tangan Salsa. Dia terdiam menyaksikan adegan mesra Dino membawa mantan
kekasihnya menuju mobil Suzuki Swift berwarna biru yang terparkir di depan
taman.
Rasa perih seperti ditusuk panah kian
menyiksa diri, air mata perlahan menetes di pipi meski tak begitu deras. Air
mata pertamanya dalam urusan cinta sebagai seorang lelaki yang kata orang
pantang menangis. Manusia hanyalah manusia, sekuat apapun mereka tetap saja
bisa meneteskan air mata begitu pula Vidi.
“aku
tak menyangka selama ini kau main hati dengan Dino tanpa sepengetahuanku,
sandiwara cinta kalian sangatlah perfect, tapi apa salahku padamu...Salsa?
Mengapa cintamu bisa dibeli dengan materi?” tanyanya dalam hati dengan
tatapan kosong. Tak ada lagi bayangan Salsa maupun Dino terlihat di matanya,
suasana berubah sunyi diiringi rintik hujan turun.
Peristiwa cinta itu membuatnya menjadi
sosok ambisius, pekerja keras dan gigih demi mencapai impian besar. Sejak saat
itu dia berambisi untuk menjadi pengusaha yang kaya serta bergelimang materi.
Kekecewaan pada sikap Salsa membuatnya terpacu mewujudkan ambisinya tanpa kenal
waktu.
“Sore Vid!!!” teriak Marcel adiknya. Teriakan itu membanggunkannya dari
kenangan pahit yang tak kunjung hilang dari benaknya meski sudah
bertahun-tahun. Ingatan yang tergambar begitu jelas tanpa terlupa sedikitpun.
“Ngapain Lu teriak-teriak nggak sopan,
bisa nggak sih hormatin gue?” bentaknya dengan raut wajah serius.
“Orang Gue panggil berkali-kali nggak
nyaut-nyaut, kebiasaan kalo ngelamun nggak pake hitungan waktu. Belajar donk
jadi orang yang melupakan masa lalu jangan hidup dalam masa lalu”
“banyak omong Lu, mendingan fokus sama
kuliah nggak usah banyak ikut campur. Lama-lama gue perhatiin Lu mirip sama
motivator-motivator di layar kaca, hobinya ngumbar nasehat ke orang-orang”
“Yey...biarin daripada kayak Lu, hidup
di lain tahun masih aja dihantui masa lalu. Lu habis ngelamunin hal itu lagi
kan? nggak bosen apa? heran gue” ucap Marcel ketus.
Vidian merapikan meja kerja dan
merapikan pakaiannya menuju keluar ruangan. Dia keluar tanpa memperdulikan
omelan adiknya yang dianggap cerewet. Marcel memang berbeda dengan kakaknya
dari segi sikap maupun prinsip hidup tapi ke dua kakak beradik ini sama-sama
tampan. Marcel seorang yang santai dan apa adanya dalam menjalani hidup,
kecintaan pada musik membuatnya sibuk dengan band besutannya. Selain itu, dia
juga sangat setia terbukti dengan kisah cintanya bersama Manda yang terhitung tiga
tahun lamanya.
JJJ
Note : Nantikan kelanjutan dari Mini Novel Series Cinta vs Ambisi, please kritik dan sarannya ya di kolom komentar. Thanks sobat kampus geol. Jangan lupa juga ikutin kisah Tanpa Judul (Blog Series).
Comments
Post a Comment