ANTARA
HATI NURANI DAN KEKOMPAKAN
Dua kata itu merupakan pilihan sulit
bagiku, tak kalah sulitnya dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan masalah cinta
apalagi disaat memutuskan menerima atau menolak seseorang yang mengutarakan
perasaannya. Namun semua itu bagiku tingkat kesulitannya lebih rendah
dibandingka aku harus mengerjakan soal
matematika yang bikin kepala mau meledak. Jujur saja sedari dulu aku paling tak
suka matematika karna awalnya aku mendapat guru matematika yang ganjen saat SMP
sehingga terbawa hingga saat ini jadi maklum diantara yang lain dikeluarga
besarku, aku yang paling nol masalah matematika. Kembali ke topik, sebenarnya
sulit juga menentukan apa yang harus aku pilih, hati nurani atau kekompakan
dengan mengatasnamakan persahabatan. Memang aku sadar betul, di kelas hanya aku
yang tak kompak untuk urusan melanggar aturan kampus apalagi untuk bolos
kegiatan kampus. Bagiku kampus memang bukan segalanya tapi aku hanya tak ingin
melukai hati orang tua yang sudah bersusah payah banting tulang pagi sampai
pagi lagi demi menyekolahkanku. Aku tak ingin membuat mereka kecewa karna
perbuatanku yang mengecewakan kesempatan yang diberikannya. Apalagi dulu aku
pernah berjanji untuk bersungguh-sungguh kuliah, masa iya karna faktor X aku
harus melanggarnya. Mungkin untuk saat-saat ini aku baru bisa melontarkan
kekecewaanku dan menunjukan rasa kekompakan melalui perkataan yang pedas (nggak
pakai cabe). Di pagi hari itu, aku benar-benar menggalau menentukan pilihan.
Duduk di rumah kost sambil berpikir keras hingga akhirnya aku memilih menuruti
kata hati dan tak memperdulikan kekompakan. Aku bergegas berangkat menuju
kampus dijemput salah satu teman sekelas demi menuruti hati nurani. Beruntungnya
ada segelintir anak yang mengikuti saranku untuk tetap mengikuti hati nurani
dengan menghadiri salah satu kegiatan kampus terbaru karna baru ada ditahun
ini. Meski kenyataannya, disana aku dan teman-teman tak melakukannya sepenuh
hati bila mengingat faktor X yang sedang melanda kejiwaan kami.
Comments
Post a Comment